Pages

Kliping - Resensi Buku "Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa"

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2009/12/16/23185295/meneriakkan.pancasila.sebagai.budaya


Meneriakkan Pancasila sebagai Budaya

  • Judul Buku : Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa 
  • Penulis  : As’ad Said Ali 
  • Pengantar : KH A. Mustofa Bisri
  • Penerbit : LP3ES
  • Tebal  : xxxii + 340 halaman 
  • Cetak  : pertama, Februari 2009

Dibuka dengan prakata penulis yang mengawali penulisan buku ini karena alasan kekaguman dan kebanggaan terhadap Pancasila, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa ini ditulis. Awal ketertarikan As’ad terhadap Pancasila muncul tatkala ia mengambil mata pelajaran semasa kuliah dulu. Sang pengajar, Prof. Notonagoro, yang membuka tabir ketersadarannya “arti vital” Pancasila. Tepatnya pada tahun 1969.

Pancasila selalu menjadi bulan-bulanan otoritas pemeritahan pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Di masa Soekarno, weltanschauung negara ini dijadikan alat legitimasi kekuasaan, melalui kebijakan tafsir tunggalnya berupa Manifesto Politik (Manipol) dan USDEK-nya. Begitu pun, ketika Soeharto bertahta Pancasila tak beda jauh nasibnya. Dengan memunculkan konsep Pancasila yang terangkum dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), lagi-lagi, Pancasila digadaikan.

Dua kenyataan tadi, dihadirkan As’ad Said Ali tidak lain sebagai pemantik. Layaknya pengenalan, As’ad seakan tak ingin menghilangkan sisi polemik kesejarahan lahirnya Pancasila. Ia tak perlu tergesa-gesa melaju kepada titik kajiannya tentang pemaknaan kembali Pancasila. Jalan yang ditempuh adalah dengan menghadirkan ulang jejak rekam Pancasila. Meskipun, dapat diakui, pemaparan yang disajikannya sudah kita temukan di buku-buku sebelumnya. Namun setidaknya, ikhtiar tersebut bisa dimaknai sebagai upaya menyegarkan ingatan sejarah kita hal-ihwal Pancasila. Ini sekaligus menguji ketersadaran kita terhadap eksistensinya. 

Hasil penelitian 

Hal ini menjadi relevan dengan hasil penelitian yang dilakukan UIN Jakarta tahun 2007 dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pada 2006. Dari keduanya didapatkan kesimpulan meski sebagian besar masyarakat Indonesia lebih menyukai sistem berdasarkan Pancasila daripada dua sistem yang ditawarkan; negara Islam dan demokrasi Barat. Akan tetapi, hasil survei selanjutnya menyebutkan pengetahuan masyarakat mengenai Pancasila merosot tajam (hlm 1-2). Sayang, As’ad tidak mengimbangi data tersebut dengan hasil penelitian yang sebelumnya, sehingga “merosot tajam” yang dimaksud masih belum jelas seberapa besar kadarnya.

Onghokham dan Andi Achdian menengarai, sebagaimana tulis As’ad, wacana Pancasila sebagai “ideologi negara” baru berkembang pada awal dekade 60-an. Awalnya Pancasila adalah suatu kontrak sosial. Ini tercermin pada kalimat, “kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bisa bersama-sama setujui,” yang diutarakan Soekarno dalam sidang BPUPKI 1 Juni 1945. Lambat laun, kesepakatan tersebut berubah menjadi dasar negara seperti kita saksikan sekarang  ini.

Kehadiran buku ini di sepanjang perjalanan reformasi ini setidaknya memiliki pelbagai kemanfaatan yang sangat berharga. Bukan saja dikarenakan definisinya perihal pemaknaan kembali Pancasila, namun juga sebagai pengingat masyarakat bahwa “kita” masih memiliki weltanschauung bangsa. Dengan begitu, Pancasila bisa menjadi benteng bagi apa saja yang hendak “masuk” dan “dimasukkan” ke dalam tubuh Indonesia.

Dalam konteks perekonomian yang sedang kacau balau ini, Pancasila menjadi relevan untuk diterapkan sebagai ideologi perekonomian guna menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Berbekal sila kelima, Indonesia selayaknya tetap teguh mengusung ekonomi rakyat; yang benar-benar membela hak dan kepentingan mereka. Jalan yang ditempuh bisa dengan memfilter ideologi perekonomian yang sama sekali bertolak dengan kebutuhan. Termasuk di dalamnya kapitalisme global. Secara sayup-sayup konsep Ekonomi Pancasila -- yang bagi Dawam Rahardjo adalah sah, logis, dan tidak aneh seperti ejekan “sistem ekonomi bukan-bukan” -- disusupkan ke dalam buku ini, di tengah kepungan pertimbangan kesejahteraan masyarakat, serta kebijakan pemerintah yang tak memihak (hal 206-263).

Dalam konteks kebangsanegaraan, peran Pancasila semakin besar. Yakni demi mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan yang secara kentara tertera dalam sila ketiga. Gempuran teknologi yang membawa bermacam informasi, baik positif maupun negatif, kian menggurita tak bisa ditampik begitu saja. Berasaskan Pancasila, semua itu bisa diatasi. Asalkan pemahaman dan penafsiran terhadap Pancasila adalah sah bagi siapa saja. Sehingga tidak ada hegemoni tafsir yang mengkungkung nalar berpikir. 

Benturan isme-isme 

Secara lebih ”panas”, dalam Bab Pertarungan Ideologi: Indonesia Kini pertarungan antarideologi dunia diketengahkan dan disinggung dengan lebih intim. Bermula dari keterkejutan dunia terhadap peristiwa terorisme yang menggunjang Amerika Serikat, hingga infiltrasi ideologi secara gencar ke Indonesia menjadi bukti nyata yang harus diindahkan. Antara ideologi Kanan dan Kiri yang bersikeras masuk ke dalam tubuh Indonesia dengan jalan dan tujuan yang berbeda. Melihat ini, Pancasila dipertaruhkan demi menjaga keutuhan negara.

Kebersatuan Indonesia akan kalah dan “terkubur” jika pemahaman dan pengamalan nilai Pancasila tersisihkan dengan kelindan kehadiran “isme-isme” yang coba dipaksa-masukkan ke dalam tubuh NKRI. Tercatat pertarungan bermacam ideologi semisal; wahabisme, neoliberalisme, kapitalisme, radikalisme, komunisme dan lain sebagainya sangat riuh mengeroyok Pancasila. Keterpecahan sangat mungkin terjadi mengingat obyek yang dijadikan sasaran isme-isme tersebut berbeda.

Hadirnya buku ini akan menjadi menara gading bila kelahirannya hanya disambut dengan riuh tepuk tangan pembaca, tanpa ditindaklanjuti pola pikir, tata kehidupan yang berkesesuaian dengan kaidah yang diamanatkan founding fathers lewat kelima sila Pancasila. Jika mereka yang merumuskan Pancasila, maka kini saatnya bagi kita menjaga keutuhan dan kesesuaian Pancasila dengan semangat zaman yang ada.

Apa yang dikemukakan dalam buku ini akan lebih menarik jika kita mengaitkannya dengan masalah kebudayaan. Kontjaraningrat menilai “nilai-budaya sukar diganti dengan nilai-nilai budaya lain dalam waktu singkat” (Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, 1975). Nah, jika Pancasila telah menjadi semangat berbudaya dalam bertindak, maka kita tak perlu risau dengan kehadiran para pengacau bernama isme tersebut. Masalahnya, sudahkah Pancasila mewujud sebagai nilai budaya? Inilah pertanyaan yang harus segera diketemukan jawabnya. ***

Ahmad Khotim Muzaka,
Staf pada Idea Studies IAIN Walisongo Semarang,
Pegiat Pustaka pada Pesanggrahan Kalamende

Kliping - Tajuk Rencana Komitmen Terhadap Pancasila

Kliping Berita Ideologi 
 
 Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/26/02470436/tajuk.rencana
 
Rabu, 27 April 2011
 
T A J U K   R E N C A N A  
 
Komitmen terhadap Pancasila 
 
Dalam waktu berlainan, Pancasila diangkat sebagai topik. Pertama, penegasan komitmen Nahdlatul Ulama terhadap Pancasila. 
 
Kedua, pernyataan tentang menurunnya kesadaran akan nilai-nilai Pancasila. Penegasan komitmen NU disampaikan Ketua Umum PB NU Said Aqil Siradj, Jumat. Esoknya, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, menyampaikan tentang penurunan kesadaran nilai Pancasila akibat lemahnya elite politik dan pemerintah. Suasana kontekstual, momentumnya aktual dan relevan. Pancasila sebagai ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia memperoleh tantangan. 
 
Kita kutip penegasan Said Aqil Siradj. ”NU siap berhadapan dengan kelompok mana pun yang mengancam keutuhan Indonesia.” Kata Komaruddin, ”Kita sudah kehilangan negarawan yang punya visi jauh untuk memperjuangkan bangsa dan negara.” Pernyataan dan penegasan di atas menyejukkan. Kita diingatkan kembali tentang nilai agung yang mendasari cita-cita membangun Indonesia. Temuan dan warisan agung para pendiri negara yang digali dari kondisi riil kemajemukan Indonesia. 
 
Banyak sudah analisis mendalam tentang Pancasila. Semua bermuara memperkuat, memperyakin, dan menegaskan tentang pilihan Pancasila sebagai ideologi negara, bahkan sudah pula dirinci jadi butiran nilai. Sayang, karena pernah dimanfaatkan sebagai bagian dari praksis pemerintahan represif, semua lantas digeneralisasi harus ditinggalkan. 
 
Dari sekian analisis, kita tertarik artikel ”Matinya Keindonesiaan Kita” oleh Kiki Syahnakri (Kompas, 10/2/2011). Di antaranya dia tulis, pemaksaan transplantasi (demokrasi) liberal di negeri ini membunuh ”gen” keindonesiaan yang mengalir dalam darah kebangsaan kita. ”Golongan darah” kita adalah Pancasila. 
 
Memungut pernyataan di atas dan menempatkannya dalam konteks kita saat ini, kita peroleh darah segar. Kita berada di rel yang benar. Analogi Pancasila sebagai ”golongan darah” keindonesiaan mengentakkan rasa perasaan kita. Kelima sila dalam Pancasila niscaya merupakan rumusan mengikat yang perlu terus disegarkan dan diusahakan sebagai kompas penyelenggaraan bernegara dan berbangsa Indonesia. 
 
Penegasaan Ketua Umum PB NU, pernyataan Rektor UIN, dan pendapat Kiki menyorongkan usul perlunya langkah konkret. Pendapat mereka hanya sebagian dari sekian pendapat yang memperkuat keyakinan pilihan kita bernegara dan berbangsa selama ini. 
 
Apa urun rembuk kita? Tunjukkan praksis kepemimpinan yang kuat, berkarakter, tegas, dan berani. Ketegasan diperlukan untuk mengencangkan kembali sekrup-sekrup lembaga demokrasi yang mengendur. Ketegasan mempraktikkan keluhuran berpolitik memperoleh penguatan dari pernyataan-pernyataan suportif yang tentu ditopang hampir seluruh rakyat yang merasakan kebenaran Pancasila sebagai ”gen” keindonesiaan kita. ***

Kliping - Resensi Buku "Sandi Sutasoma, Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular"

Kliping Informasi Buku

Sumber: http://female.kompas.com/read/2009/03/18/11093748/Resensi.Membangkitkan.Kembali.Ruh.Mpu.Tantular


Resensi: Membangkitkan Kembali Ruh Mpu Tantular

  • Judul: Sandi Sutasoma, Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular 
  • Penulis: Anand Krishna 
  • Penerbit: P. T. Gramedia Pustaka Utama 
  • Cetakan: I, 2007 
  • Tebal: vi + 312 Halaman 
  • Harga: Rp. 50.000

"Indoktrinasi yang dilakukan terhadap anak-anak kita sejak usia dini menciptakan konflik di dalam diri mereka. Doktrin yang mereka peroleh -- termasuk cara makan, berpakaian dan lain sebagainya -- membuat mereka tertutup" (hal. 255)

KOMPAS.com -- Mpu Tantular menulis Kakawin Sutasoma untuk mengkritik Gajah Mada. Saat itu fondasi yang dipakai oleh Sang Maha Patih guna menyatukan Nusantara begitu rapuh. Deklarator Sumpah Palapa tersebut menggunakan strategi militer, ekonomi dan agama. Sebagai alternatif, Sang Mpu menawarkan pendekatan budaya untuk mengatasi krisis multidimensi yang mendera Majapahit.

Pangeran Sutasoma lahir di India. Saat itu kepulauan Dwipantara masih menyatu dengan daratan Jambudwipa, sehingga wajar bila banyak kemiripan antara Indonesia dan India. Dari seni pewayangan sampai dengan teknik bercocok tanam. Kenapa? Karena akar budayanya satu. Yakni peradaban subur di sekitar Sungai Sindhu yang membentang dari Gandhaar (sekarang Kandahar di Afganistan) hingga perbatasan Astraalaya (disebutkan kini Australia).

Ibunya bernama Prajnadhari, seorang permaisuri kerajaan Hastina, sedangkan ayahnya bernama Mahaketu, raja bijak yang berkuasa atas sebagian besar wilayah Jambudwipa. Kelahiran Sang Putra Mahkota disambut gembira oleh keluarga, kerabat istana, dan seluruh rakyat. Yang mencolok ialah kulit si bayi mungil ini bersih nyaris tanpa noda. Suta berarti anak dan soma berarti bulan. Para astronom memprediksi kelak Sutasoma akan bertabiat ibarat rembulan nan lembut dan melembutkan (hal. 65).

Anehnya begitu menginjak usia remaja Sang Pangeran enggan mendalami ilmu ekonomi politik. Ia justru lebih suka mendengarkan wejangan para biku dan pertapa, baik yang menganut ajaran Buddha maupun Tantra Shiva. Hingga akhirnya pada suatu malam tanpa bekal sepeserpun Sutasoma kabur dari istana menggembara untuk menemukan makna sejati kehidupan (sejatine urip).

Setelah keluar masuk hutan Sutasoma bertemu dengan Biku Sumitra yang ternyata kakeknya sendiri. Dulu si eyang bernama Jayatsena, nama barunya itu hadiah dari Sang Guru. Su-Mitra artinya sahabat yang baik, beliau berusaha menjalin persahabatan dengan siapa saja tanpa pandang bulu.

Ada dua hal penting yang disampaikan, pertama, Sutasoma kelak akan menikah dengan putri pamannya sendiri, Chandrawati akan menjadi pendamping setia sekaligus sumber inspirasi dalam pelayanan pada sesama. Kedua, ia musti "menaklukkan" Purushaada, raja lalim yang selama ini menindas rakyat.

Purushaada berasal dari kata purusha atau manusia yang belum sempurna (hal. 181). Ia yang masih setengah-setengah. Purushaada merindukan kehadiran Sutasoma alias kehangatan belaian rembulan. Kini pun masih banyak orang bertubuh manusia yang kelakuannya subhuman karena kerap menindas orang lain.

Akhirnya Keberadaan (baca: Tuhan) mempertemukan Sutasoma dan Purushaada, tepatnya di kuil Batara Kala. Tatkala insting hewani (ego) Purushaada larut dalam kehangatan cinta Sutasoma secara alamiah terjadi fenomena Kawula Manunggaling Gusti - Tauhid! Dalam bahasa Mpu Tantular berbunyi, "Rwaaneka dhaatu winuwus Buddha Wishwa bhineki rakwa ring apan kena parwanosen, mankaang Jinatwa kalawan Shivatatwa tunggal, bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa." (Kakawin Sutasoma atau Purushaada Shantaa, CXXXIX:5 diterjemahkan oleh I Gusti Bagus Sugriwa)

Buku ini ialah yantra atau alat untuk membangkitkan kembali ruh ke-empu-an dalam diri kita, sebagaimana Mpu Tantular pernah merasuki Bung Karno, Hatta, Dewantoro, dan lain-lain. Kini tugas sejarah generasi abad ke-21 untuk mendengungkan kembali pesan persatuan, "Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa" di bumi Nusantara tercinta.
  
(T. N. Angkasa S.Pd., Alumnus Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Sanata Dharma, Aktivis Gerakan Integrasi Nasional)

***

Sumber: http://www.bookoopedia.com/daftar-buku/pid-85/sandi-sutasoma-menemukan-kepingan-jiwa-mpu-tantular.html 

Kenapa Buku Ini Menarik untuk Disimak?  
  • Sutasoma adalah karya klasik Nusantara.
  • Orang akan tahu bahwa Mahapatih Gajah Mada tidak sebesar yang didengung-dengungkan.
  • Ada cacat besar di dalam diri Mahapatih Gajah Mada yang menyebabkan Nusantara terpuruk.
  • Tampilan model ratu adil menurut Mpu Tantular.
  • Ramalan mengenai kebesaran Nusantara, dan peran kita di dalamnya. Tuntutan Mpu Tantular dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. ***

Kliping - Resensi Buku "Kakawin Sutasoma"

Kliping Informasi Buku

Sumber: http://khatulistiwa.net/khatulistiwa-online/100/sejarah/11064/kakawin-sutasoma.html

Kakawin Sutasoma
 
  • Penulis: Mpu Tantular 
  • Penerjemah: Dwi Woro Mastuti dan Hastho Bramantyo
  • Terbit: Agustus 2009 
  • Detail: 560 halaman, 14 x 21 
  • Harga: Rp. 85.000 
  • Penerbit: Komunitas Bambu 

    "Kakawin Sutasoma adalah salah satu ekspresi kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa, yang berasal dari akhir abad ke-14, yaitu zaman Majapahit, yang merupakan puncak kemegahan Kerajaan Jawa – lama sebelum mulainya zaman kolonial. Kakawin Sutasoma bukan sekedar riwayat panjang. Di samping unsur narasi dan keindahan, juga ada unsur filsafat khas Indonesia, dimana menurut ajaran sang pengarang, Mpu Tantular, aliran-aliran agama tidak dianggap bertentangan, malah merupakan kesatuan pada tingkat tertinggi. Kini pembaca bisa menikmati segala aspek karya sastra ini. Terjemahan yang disajikan di sini dapat dikatakan mengatasi rintangan kesulitan bahasa aslinya, sehingga berhasil mencapai status kesusasteraan zaman modern oleh karena kelancaran dan kehalusan bahasanya yang mengesankan." (Prof. Dr. S. O. Robson, Monash University, Australia)
      
    "Kita telah mengetahui “Bhinneka Tunggal Ika”, namun guna menghayati maknanya yang lebih dalam diperlukan pembacaan secara utuh Kakawin Sutasoma dari mana semboyan itu dikutip. Kehadiran terjemahan Kakawin Sutasoma ke dalam bahasa Indonesia tentu bukan saja membuat kita menjadi jauh lebih mudah mendalaminya daripada harus membaca aslinya yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, tetapi juga akan makin menguatkan amalan makna sosialnya." (Prof. Dr. Noerhadi Magetsari, Guru Besar Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia)

    Kakawin Sutasoma ini telah diterjemahkan dengan keahlian Jawa kuno yang tak diragukan lagi. Sebab itu masyarakat luas bisa menikmati kakawin ini yang penuh dengan peristilahan agama Buddha yang sulit”. (Prof. Dr. Hariani Santiko, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ahli Bahasa Sanskerta)
      
    "Meskipun bukan seorang Buddhis, alangkah baiknya membaca buku ini agar dapat lebih menghayati dan mempraktikkan cinta kasih yang diajarkan oleh Sang Buddha." (Prof. Dr. Parwatri Wahyono, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ahli Budaya Jawa) ***

    Kliping - Rakyat Harus Bersatu

    Kliping Berita Ideologi

    Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/04100139/rakyat.harus.bersatu

    R A D I K A L I S M E 

    Rakyat Harus Bersatu

    JAKARTA, KOMPAS - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Taufiq Kiemas meminta seluruh rakyat Indonesia bersatu padu mengatasi radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal. Ketiga problem ini tak boleh dianggap sebagai problem yang biasa saja, tetapi sudah menjadi masalah serius yang mengancam keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    ”Rakyat Indonesia mesti bersatu padu. Jangan menganggap masalah itu sebagai hal remeh, seolah-olah sebagai hal yang biasa,” kata Taufiq, Kamis (21/4), dalam jumpa pers di Kantor Presiden, Jakarta. Taufiq menyampaikan hal tersebut seusai menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dua Wakil Ketua MPR yang mendampingi Taufiq adalah Meilani Leimena Suharli dan Lukman Hakim Saifuddin.

    Selain membicarakan eskalasi gejala radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal, ketiga pimpinan MPR itu serta Presiden membicarakan rencana pembentukan lembaga untuk menyebarluaskan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kesempatan yang sama, pimpinan MPR menyampaikan undangan kepada Presiden Yudhoyono untuk hadir dan memberikan pidato kebangsaan dalam peringatan kelahiran Pancasia, 1 Juni mendatang.

    Pada awal pekan ini Presiden Yudhoyono menyatakan, sejumlah peristiwa yang terjadi beberapa saat belakangan ini menunjukkan adanya ancaman serius terhadap keamanan publik. Peristiwa itu memperlihatkan gejala eskalasi radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal. ”Akhir-akhir ini saya melihat, kita telah diberikan warning, peringatan, yang berkaitan dengan situasi keamanan dan ketertiban publik,” ujar Yudhoyono, Selasa silam, saat mengawali rapat koordinasi politik, hukum, dan keamanan yang diikuti semua pejabat militer dan kepolisian di pusat ataupun di daerah.

    Menurut Taufiq, MPR dan Presiden sama-sama meyakini bahwa radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal hanya bisa dilawan dengan ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. ”Tanpa itu, kita tidak bisa melawan tiga problem itu,” ujarnya lagi.

    Lukman Hakim juga menyampaikan kegelisahannya atas maraknya berbagai peristiwa yang mengindikasikan eskalasi gejala radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal. Ia menilai ancaman itu dapat diatasi dengan lebih mengintensifkan internalisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. 

    ”Internalisasi nilai-nilai Pancasila, NKRI, kesadaran kita berkonstitusi (UUD 1945), dan Bhinneka Tunggal Ika harus lebih serius kita lakukan,” kata Lukman Hakim. (ato) ***

    Kliping - Tangani Empat Pilar, MPR Minta Bantuan Presiden

    Kliping Berita Ideologi

    Sumber: http://cetak.kompas.com/read/2011/04/23/04044327/tangani.empat.pilar.mpr.minta.bantuan.presiden

    K E B A N G S A A N

    Tangani Empat Pilar, 
    MPR Minta Bantuan Presiden 

    T a u f i k   K i e m a s
    JAKARTA, KOMPAS -- Majelis Permusyawaratan Rakyat meminta bantuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membentuk badan khusus yang berfungsi menyebarluaskan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara. Majelis Permusyawaratan Rakyat menyadari keterbatasan  mereka dalam menjalankan tugas tersebut.

    Empat pilar yang selama ini berusaha disebarluaskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) meliputi Pancasilan, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, MPR yang beranggotakan 692 orang merasa tidak mampu untuk melakukannya hingga ke seluruh pelosok Tanah Air.

    "Kami merasa tidak sanggup kalau tidak ada bantuan dari pihak eksekutif," kata Ketua MPR Taufiq Kiemas, Kamis (21/4), dalam jumpa pers di Kantor Presiden.

    Taufik bersama Wakil Ketua MPR Meilani Leimena dan Lukman Hakim Saifuddin menemui Presiden Yudhoyono untuk membicarakan berbagai hal, termasuk meminta bantuan mendirikan badan yang bertugas menyebarluaskan empat pilar tersebut.

    Dalam pertemuan tersebut, MPR juga memberikan undangan kepada Yudhoyono agar dapat hadir dan memberikan pidato kebangsaan dalam peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni mendatang.

    Badan khusus

    Menurut Lukman, MPR meminta Presiden ikut memikirkan perlunya dibuat semacam badan khusus yang berfungsi melakukan proses internalisasi empat pilar secara terstruktur, lebih sistematis, dan masif. "Proses internalisasi ini nantinya dapat menjangkau seluruh penjuru Indonesia," katanya.

    Lukman menjelaskan, Presiden menyambut baik permintaan MPR. "Bahkan, Presiden menyatakan bahwa terkait dengan persoalan ideologis seperti itu, tidak bisa tidak seluruh komponen bangsa harus kompak bersatu dalam perjuangan memelihara dan mempertahankan ideologi bangsa," tuturnya.

    Lukman mengungkapkan, badan yang diusulkan MPR tidak akan menyerupai lembaga Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP-7) pada masa silam. BP-7 dahulu bertugas melakukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lewat sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Namun, BP-7 dan P-4 dinilai kurang menyediakan ruang bagi dialog partisipatif dari masyarakat.

    Oleh karena itu, menurut Lukman, metode penyebarluasan itulah yang kini perlu dipikirkan baik-baik. "Kita membutuhkan badan untuk menyebarluaskan empat pilar, tetapi badan itu tentu tidak akan seperti BP-7 dulu," ujarnya. (ATO) ***